SANG SYUHADA
Pendar-pendar
cahaya lilin dan lampu semprong mengitari tiap sudut ruang kamarku, demikian
juga dengan rumahku. Maklumlah, lampu sedang padam rupanya jadi ya harus rela
bergelap-gelap ria malam ini. Sebenarnya aku paling tidak nyaman bila harus
mengerjakan tugas yang diberikan olah guru disekolah dengan suasana redup
seperti ini, tapi tak apalah, demi jalanku menuju sebuah kesuksesan di masa
depan jadi konsekuen seperti apapun akan aku jalani. Selang beberapa menit
terdengar deru suara senapan bersahut-sahutan, terang saja aku kaget demikian
juga dengan ayahku, karena memang kami hanya tinggal berdua. Soalnya ibuku telah
meninggal sedang aku adalah anak satu-satunya dalam keluarga bapak Hasan.
Dengan diiringi suara teriakan banyak orang yang ada disekeliling rumahku, aku
menjadi semakin linglung.
“Masya
Allah, Ayah ada apa ini? Kenapa banyak orang yang berteriak-teriak” Tanyaku pada sosok ayah yang ada dihadapanku dengan
nada cemas
Sembari
memeluk tubuhku. “Tenanglah anakku, kamu tidak usah takut, Ayah ada disampingmu
saat ini” Jawab Ayah berusaha menenangkanku, pasalnya karena kejadian serupa
ibuku tewas terkena tembakan yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung
jawab
Trauma
masa lalu kembali mencuat dipikiranku “Ayah, apa terjadi penyerangan lagi
seperti sebelumnya?” Tanyaku gugup
Dengan
terpaksa akhirnya ayahkupun berkata jujur.”Ya anakku, kita diserang lagi oleh
kaum musyrik” Jawab ayah
Masih
dengan sikap gugupku. “Lalu apa yang akan ayah lakukan sekarang?” Tanyaku lagi
padanya
“Sekarang
lebih baik kau bawa pakaianmu seperlunya, kita harus mencari tempat yang lebih
aman” Ucap ayah cepat memberi komando padaku
“Baiklah
ayah, tapi kita akan kemana? Aisyah bingung Ayah?” Kataku sambil dengan
terburu-buru memasukkan beberapa helai baju kedalam tas. Aku sendiri tak tau baju apasaja yang telah aku masukkan
“Tak
tahulah anakku, tapi yang jelas kita harus segera meninggalkan tempat ini dan
menyelamatkan diri kita terlebih dahulu.” Ujar ayah tegas, karena kutahu
sebenarnya diapun bingung hendak membawa aku kemana, gurat itu jelas tercurah
dari rona dan ekspresi wajahnya. “Ayo, kita harus pergi sekarang juga!” Kata
ayah kemudian dengan sigap menarik lenganku
Setelah kata-kata terakhir itu
ayah meraih tanganku dengan sigap dan kami berduapun menyusup dalam kegelapan
malam menuju hutan terdekat untuk menghindari tembakan yang bisa saja salah
sasaran. Sama seperti kasus yang menimpa almarhum ibuku tersayang, tanpa salah
apa-apa dia harus mati, merelakan dirinya tertembak tanpa alasan, peristiwa
yang sangat tragis sekali. Entah sudah berapa lama aku dan ayah berlari dan
terus berlari, yang jelas aku sudah merasa lelah sekali saat ini, kakikupun
rasanya sudah tak mampu lagi untuk digerakkan, sepertinya aku terkena keram. Tapi berkat semangat yang dikobarkan dari kata-kata ayahkulah aku akhirnya
mampu memaksakan diriku untuk terus berlari menuju ketempat yang dirasa aman.
***
Satu hari sudah
aku mengungsi di hutan. Ternyata aku tidak hanya berdua dengan ayahku, masih
banyak para penduduk desaku yang juga mengungsi, termasuk bibiku yang pada
akhirnya diberi tugas oleh ayah untuk menjagaku karena umurku baru beranjak
empat belas tahun. Kuteringat kembali kemasa enam tahun lalu dimana ibu masih
ada disampingku. Saat itu seperti biasa ketika malam tiba kami sekeluarga
demikian juga dengan tetangga-tetanggaku bergembira dan bercanda bersama
keluarga mereka masing-masing. Tiba-tiba terdengar teriakan yang berasal dari
ujung kampung “Mati kalian semua!” sambil menembakkan senapan mereka seenak
perut mereka, alhasil banyak warga kampung termasuk ibuku yang menjadi korban
kebiadaban mereka orang yang sampai saat ini tidak kami ketahui, kami hanya
menyebut mereka dengan sebutan orang musyrik.
Tidak hanya
sampai disitu. Perang terus berlanjut dan korban terus berjatuhan dari kedua
belah pihak. Sebagian warga kampung ada yang masih memilih untuk mempertahankan diri
mereka dengan memerangi para musyrikin, tapi ada juga yang lebih memilih untuk
pergi mengungsi sejauh-jauhnya. Selama hampir satu bulan kami terus dihantui
oleh rasa takut akan yang namanya sebuah kematian. Yang ada dipikiranku saat
itu hanyalah sebuah keyakinan kalau sesungguhnya Allah telah menciptakan
malaikat Jibril dengan sebaik-baik bentuk yang kapan saja bisa diperintahkan
oleh Allah untuk mencabut nyawa hambanya tanpa belas kasih. Semenjak perang
itu, ibuku akhirnya menjadi salah satu korban karena ingin menolong seorang
kakek dan iapun akhirnya tertembak dan mati. Jauh sudah pikiranku mengembara,
bayangan akan surga terus menggangu pikiranku. Entah sedang bermimpi atau
bukan, ketika aku menghadiri pemakaman ibuku dan warga lainnya. Setelah
penguburan selesai kulihat jasad ibuku tiba-tiba bagaikan diletakkan saat itu
diantara langit dan bumi.
***
Pada suatu malam
dimalam mengungsi ayah memanggilku seraya berkata.
“Anakku Aisyah,
aku berfirasat bahwa aku adalah orang pertama diantara anggota keluarga kita
yang tersisa yang akan terbunuh. Sementara itu, demi Allah, aku tidak melihat
orang yang lebih mulia dari dirimu yang dapat aku titipi pesan sepeninggalanku
nanti, pasalnya aku masih mempunyai hutang pada bibimu, maka lunasilah hutangku
itu dan berbuatlah yang baik terhadap saudara-saudaramu.” Kata ayahku sambil
seperti biasanya memeluk tubuhku dan membelai kepalaku
“Duhai ayahku,
apa yang engkau bicarakan ini, jangan terlalu mempercayai sebuah firasat, siapa
tau itu hanya godaan dari syetan jahanam yang hanya ingin mengelabuimu” Kataku
mengingatkan ayah
“Tidak anakku,
karena sebelum perang ini terjadi aku sering bermimpi tentang hal itu. Oleh
karena itu ayah memohon padamu agar bersedia melunasi hutang ayahmu ini anakku”
Rasa sedih
tiba-tiba menyelimutiku, bayangan akan ditinggal orang terkasih seketika
menghampiriku dan tangiskupun pecah. “Duhai ayahku tercinta, kalaupun benar
adanya bahwa engkau adalah orang pertama dalam keluarga kita yang akan
terbunuh, maka anakmu ini tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalankan amanah
terkahirmu” Kataku tak kuasa untuk meneruskan kata-kata
Dengan airmata
yang menetes pula akhirnya ayahku berucap “Terimakasih anakku Aisyah,
terimakasih, semoga Allah selalu melindungimu, amin”
Setelah berkata
seperti itu, ayahku beserta seluruh laki-laki penduduk desa Sungai Jernih[1]
pergi bertempur keesokan harinya. Kabar terakhir yang kudengar adalah ayahku
benar-benar terbunuh. Kemudian akupun dibantu dengan warga yang lain mengubur
jasad ayahku bersama dengan para syuhada lainnya di dalam satu liang. Seketika
kulihat seekor burung berbulu putih berdiri disekitar liang. Subhanallah, aku
tidak mengenali jenisnya yang langka itu dan ketika mayat ayahku dikuburkan
malaikatpun memperdengarkan suaranya. Terdengar bacaan Al-Qur’an dari liang
lahat itu, namun tak diketahui siapa yang telah membacanya yaitu ayat 27-30
surah Al-Fajr “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang
puas lagi diridhoiNya, maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambamu dan masuklah
kedalam surgaKu” Subhanallah, Allahu Akbar!
Akhirnya penyerbuan
tidak berdasar itu akhirnya usai juga manakala dari satuan kepolisian dan TNI
bangsa ini diperintahkan untuk membantu kami warga kampung sungai jernih. Suasana
akhinya berangsur pulih seperti sedia kala, namun ada satu hal yang terus
mengganjal dihatiku ketika aku sadar kalau jasad ayahku berada dalam satu liang
dengan para syuhada lainnya. Ayat itu yang diperdengarkan oleh malaikat terus
terngiang ditelingaku, Subhanallah, Maha Suci Allah, Allahu sAkbar!
Note: Cerpen ini adalah cerpen pertamaku yang menang lomba di Kampus UMY Yogyakarta
[1] Nama
sebuah sungai yang ada di Kabupaten Linggau Sumatera Selatan
No comments:
Post a Comment