Thursday 29 May 2014

Sang Syuhada


SANG SYUHADA


            Pendar-pendar cahaya lilin dan lampu semprong mengitari tiap sudut ruang kamarku, demikian juga dengan rumahku. Maklumlah, lampu sedang padam rupanya jadi ya harus rela bergelap-gelap ria malam ini. Sebenarnya aku paling tidak nyaman bila harus mengerjakan tugas yang diberikan olah guru disekolah dengan suasana redup seperti ini, tapi tak apalah, demi jalanku menuju sebuah kesuksesan di masa depan jadi konsekuen seperti apapun akan aku jalani. Selang beberapa menit terdengar deru suara senapan bersahut-sahutan, terang saja aku kaget demikian juga dengan ayahku, karena memang kami hanya tinggal berdua. Soalnya ibuku telah meninggal sedang aku adalah anak satu-satunya dalam keluarga bapak Hasan. Dengan diiringi suara teriakan banyak orang yang ada disekeliling rumahku, aku menjadi semakin linglung.

            “Masya Allah, Ayah ada apa ini? Kenapa banyak orang yang berteriak-teriak” Tanyaku  pada sosok ayah yang ada dihadapanku dengan nada cemas
               Sembari memeluk tubuhku. “Tenanglah anakku, kamu tidak usah takut, Ayah ada disampingmu saat ini” Jawab Ayah berusaha menenangkanku, pasalnya karena kejadian serupa ibuku tewas terkena tembakan yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab
        Trauma masa lalu kembali mencuat dipikiranku “Ayah, apa terjadi penyerangan lagi seperti sebelumnya?” Tanyaku gugup
            Dengan terpaksa akhirnya ayahkupun berkata jujur.”Ya anakku, kita diserang lagi oleh kaum musyrik” Jawab ayah
             Masih dengan sikap gugupku. “Lalu apa yang akan ayah lakukan sekarang?” Tanyaku lagi padanya
            “Sekarang lebih baik kau bawa pakaianmu seperlunya, kita harus mencari tempat yang lebih aman” Ucap ayah cepat memberi komando padaku
            “Baiklah ayah, tapi kita akan kemana? Aisyah bingung Ayah?” Kataku sambil dengan terburu-buru memasukkan beberapa helai baju kedalam tas. Aku sendiri tak tau baju apasaja yang telah aku masukkan
            “Tak tahulah anakku, tapi yang jelas kita harus segera meninggalkan tempat ini dan menyelamatkan diri kita terlebih dahulu.” Ujar ayah tegas, karena kutahu sebenarnya diapun bingung hendak membawa aku kemana, gurat itu jelas tercurah dari rona dan ekspresi wajahnya. “Ayo, kita harus pergi sekarang juga!” Kata ayah kemudian dengan sigap menarik lenganku

         Setelah kata-kata terakhir itu ayah meraih tanganku dengan sigap dan kami berduapun menyusup dalam kegelapan malam menuju hutan terdekat untuk menghindari tembakan yang bisa saja salah sasaran. Sama seperti kasus yang menimpa almarhum ibuku tersayang, tanpa salah apa-apa dia harus mati, merelakan dirinya tertembak tanpa alasan, peristiwa yang sangat tragis sekali. Entah sudah berapa lama aku dan ayah berlari dan terus berlari, yang jelas aku sudah merasa lelah sekali saat ini, kakikupun rasanya sudah tak mampu lagi untuk digerakkan, sepertinya aku terkena keram. Tapi berkat semangat yang dikobarkan dari kata-kata ayahkulah aku akhirnya mampu memaksakan diriku untuk terus berlari menuju ketempat yang dirasa aman.

***

Satu hari sudah aku mengungsi di hutan. Ternyata aku tidak hanya berdua dengan ayahku, masih banyak para penduduk desaku yang juga mengungsi, termasuk bibiku yang pada akhirnya diberi tugas oleh ayah untuk menjagaku karena umurku baru beranjak empat belas tahun. Kuteringat kembali kemasa enam tahun lalu dimana ibu masih ada disampingku. Saat itu seperti biasa ketika malam tiba kami sekeluarga demikian juga dengan tetangga-tetanggaku bergembira dan bercanda bersama keluarga mereka masing-masing. Tiba-tiba terdengar teriakan yang berasal dari ujung kampung “Mati kalian semua!” sambil menembakkan senapan mereka seenak perut mereka, alhasil banyak warga kampung termasuk ibuku yang menjadi korban kebiadaban mereka orang yang sampai saat ini tidak kami ketahui, kami hanya menyebut mereka dengan sebutan orang musyrik.  

Tidak hanya sampai disitu. Perang terus berlanjut dan korban terus berjatuhan dari kedua belah pihak. Sebagian warga kampung ada yang masih memilih untuk mempertahankan diri mereka dengan memerangi para musyrikin, tapi ada juga yang lebih memilih untuk pergi mengungsi sejauh-jauhnya. Selama hampir satu bulan kami terus dihantui oleh rasa takut akan yang namanya sebuah kematian. Yang ada dipikiranku saat itu hanyalah sebuah keyakinan kalau sesungguhnya Allah telah menciptakan malaikat Jibril dengan sebaik-baik bentuk yang kapan saja bisa diperintahkan oleh Allah untuk mencabut nyawa hambanya tanpa belas kasih. Semenjak perang itu, ibuku akhirnya menjadi salah satu korban karena ingin menolong seorang kakek dan iapun akhirnya tertembak dan mati. Jauh sudah pikiranku mengembara, bayangan akan surga terus menggangu pikiranku. Entah sedang bermimpi atau bukan, ketika aku menghadiri pemakaman ibuku dan warga lainnya. Setelah penguburan selesai kulihat jasad ibuku tiba-tiba bagaikan diletakkan saat itu diantara langit dan bumi.

***

Pada suatu malam dimalam mengungsi ayah memanggilku seraya berkata.
“Anakku Aisyah, aku berfirasat bahwa aku adalah orang pertama diantara anggota keluarga kita yang tersisa yang akan terbunuh. Sementara itu, demi Allah, aku tidak melihat orang yang lebih mulia dari dirimu yang dapat aku titipi pesan sepeninggalanku nanti, pasalnya aku masih mempunyai hutang pada bibimu, maka lunasilah hutangku itu dan berbuatlah yang baik terhadap saudara-saudaramu.” Kata ayahku sambil seperti biasanya memeluk tubuhku dan membelai kepalaku
“Duhai ayahku, apa yang engkau bicarakan ini, jangan terlalu mempercayai sebuah firasat, siapa tau itu hanya godaan dari syetan jahanam yang hanya ingin mengelabuimu” Kataku mengingatkan ayah
“Tidak anakku, karena sebelum perang ini terjadi aku sering bermimpi tentang hal itu. Oleh karena itu ayah memohon padamu agar bersedia melunasi hutang ayahmu ini anakku”
Rasa sedih tiba-tiba menyelimutiku, bayangan akan ditinggal orang terkasih seketika menghampiriku dan tangiskupun pecah. “Duhai ayahku tercinta, kalaupun benar adanya bahwa engkau adalah orang pertama dalam keluarga kita yang akan terbunuh, maka anakmu ini tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalankan amanah terkahirmu” Kataku tak kuasa untuk meneruskan kata-kata  
Dengan airmata yang menetes pula akhirnya ayahku berucap “Terimakasih anakku Aisyah, terimakasih, semoga Allah selalu melindungimu, amin”

Setelah berkata seperti itu, ayahku beserta seluruh laki-laki penduduk desa Sungai Jernih[1] pergi bertempur keesokan harinya. Kabar terakhir yang kudengar adalah ayahku benar-benar terbunuh. Kemudian akupun dibantu dengan warga yang lain mengubur jasad ayahku bersama dengan para syuhada lainnya di dalam satu liang. Seketika kulihat seekor burung berbulu putih berdiri disekitar liang. Subhanallah, aku tidak mengenali jenisnya yang langka itu dan ketika mayat ayahku dikuburkan malaikatpun memperdengarkan suaranya. Terdengar bacaan Al-Qur’an dari liang lahat itu, namun tak diketahui siapa yang telah membacanya yaitu ayat 27-30 surah Al-Fajr “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoiNya, maka masuklah kedalam jama’ah hamba-hambamu dan masuklah kedalam surgaKu” Subhanallah, Allahu Akbar!

Akhirnya penyerbuan tidak berdasar itu akhirnya usai juga manakala dari satuan kepolisian dan TNI bangsa ini diperintahkan untuk membantu kami warga kampung sungai jernih. Suasana akhinya berangsur pulih seperti sedia kala, namun ada satu hal yang terus mengganjal dihatiku ketika aku sadar kalau jasad ayahku berada dalam satu liang dengan para syuhada lainnya. Ayat itu yang diperdengarkan oleh malaikat terus terngiang ditelingaku, Subhanallah, Maha Suci Allah, Allahu sAkbar!  



Note: Cerpen ini adalah cerpen pertamaku yang menang lomba di Kampus UMY Yogyakarta


[1] Nama sebuah sungai yang ada di Kabupaten Linggau Sumatera Selatan

No comments:

Cara Cek Menu Catatan di Facebook Versi Terbaru 2020

Halo semuanya apakabar? Lama ya tak jumpa. Oh ya, kali ini Rey akan berbagi pengalaman dengan kalian mengenai kejadian yang baru saja Rey al...