Judul: Teatrikal Hati
Penulis: Rantau Anggun dan Binta Al Mamba
Penerbit: Quanta (Elex Media Komputindo)
ISBN: 978-602-02-2627-9
Cetakan ke: satu (November 2013)
Genre: Novel Islami
Kategori: Fiksi
Teatrikal Hati merupakan
novel karya dua penulis wanita Indonesia yakni, Rantau Anggun, yang karyanya telah
lolos dalam tiga antologi yakni, Sweet
Candy for Teens dan Antologi Buah
hati nakal atau banyak Akal? (Elex
Media Komputindo, Februari 2012), Mertuaphobia
(proses terbit di Jendela). Ada
juga artikel lepasnya yang berjudul Sinkronisasi
Energi pernah dimuat dalam booklet Lembaga Manajemen Infak Kota Blitar.
Demikian juga dengan tulisannya berjudul Harapan
bagi Para Perindu Optimisme juga pernah dibacakan pada peringatan hari Ibu
tahun 2012 di jajaran dharma Wanita Pemerintah Kabupaten Blangkejeren, Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam.
Berbeda dengan rekan
duetnya yakni, Binta Al Mamba. Perempuan yang bernama asli Aris Sayyidatul Ilmi
ini, tulisan-tulisan pendeknya berupa cerpen, puisi dan artikel ringan dimuat
di beberapa media diantaranya adalah radar bojonegoro, Jawa Pos, Aku Anak
Saleh, Lampung Post, Majalah Embun, Koran Berani, Majalah Cahaya Nabawi,
Majalah Sekar dan lain-lain. Lebih dari 20 tulisan pendek berbagai tema dan
genre besutannya juga dibukukan secara keroyokan bersama berbagai komunitas
atau hasil audisi antologi. Buku terbarunya adalah KISS (Kisah Indah Seputar
Santri) yang diterbitkan oleh penerbit Jendela, Dzikrul hakim, yang merupakan
batu loncatan untuk menerbitkan buku solonya.
Novel Teatrikal Hati
adalah novel duet pertama dari kedua penulis ini. Duet yang sangat apik sekali karena
berhasil membuat para pembaca melahap novel ini laksana kepingan-kepingan
puzzle. Pelan-pelan kisahnya akhirnya menyatu dan menjadi utuh.
Sedikit sia-sia rasanya
ketika ingin mencoba untuk mendapatkan gambaran akhir dari cerita ini apakah Happy Ending atau Sad Ending. Karena kedua penulis ini cukup lincah dan cerdas sekali
membuat alur yang melompat-lompat, sehingga membuat pembaca harus sabar dan
bersedia mengikuti alurnya.
Sekilas bila melihat
covernya yang tergambar sepasang merpati lucu dan ada 4 buah hati tergantung
dibawahnya, maka pembaca akan mengira kalau novel ini pastilah lagi-lagi
tentang cinta kebanyakan atau bahkan tentang pengkhianatan. Namun ketika novel
ini sudah dibaca maka pambaca akan tahu kalau novel ini berbeda. Meski kisah-kisahnya merupakan kisah yang
sebenarnya banyak terjadi di masyarakat kita, namun kedua penulis ini berhasil
menyajikannya dengan penuh intrik, menarik juga menyentuh.
Kisah dalam novel ini
dimulai dari kisah seorang Zahra Azkia. Seorang aktris yang tengah naik daun dan
memutuskan untuk meninggalkan dunia peran saat karirnya sedang menanjak. Karena
keteguhannya, ia berhasil menjadi Produser Kreatif Tropical Entertainment (TE),
meski pada akhirnya ia dilanda gundah gulana karena proyek film layar lebar
bertema kemanusiaan dan cinta yang merupakan tantangan proyek film layar
pertamanya dari Mistem Liem (pemilik saham terbesar sekaligus CEO Tropical
Entertainment). Wanita cantik yang memutuskan untuk berhijab ini hidupnya juga
selalu dikaitkan dengan pemuda bernama Fardan, sang sutradara film layar lebar
yang tengah ia produseri.
Berbeda dengan tokoh lain bernama
Linda Arum. Penulis novel dan penyiar radio. Sosok perempuan yang lemah lembut
dan penuh pengertian. Pernikahannya selama bertahun-tahun dengan Bagas terasa
beku karena karakter Bagas yang memang kaku dan tidak romantis. Sedangkan
disisi lain, Linda secara diam-diam menulis semua khayalan ke romantisannya
lewat novel-novel yang ia tulis. Ketiadaan anak sekian tahun, menambah beku kehidupan
kedua pasangan ini.
Kebekuan hatiku yang kugadang-gadang akan
dihangatkan oleh pangeran yang menjadi pendampingku ternyata hanya harapan yang
terbentur dinding. Dinding nan tebal yang hanya bisa memantul-mantulkan bola
harapan yang berkali kulemparkan. (hal.117)
Gwen Saputri. Mungkin ia layak
disebut sebagai salah satu tokoh antagonis dalam novel ini selain Harjun
Notodiningrat yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri yang sejak kecil
telah menorehkan luka dan trauma padanya lahir dan bathin. Gwen atau yang lebih
akrab disapa adik Bida oleh ibu dan kakaknya ini merupakan seorang arsitek
dengan karier cemerlang dan memukau. Perjodohannya dengan beberapa pemuda
selalu gagal, karena sejatinya ia tak pernah siap dilamar oleh sosok bernama
laki-laki yang hanya menilainya dari kecantikan fisik. Padahal, dikedalaman
hatinya, ia tetap ingin kesetiaan.
Dan yang paling penting. Aku hanya ingin
kesetiaan. Aku ingin menjadi satu-satunya dalam hidup seorang lelaki. Tanpa
sambilan ataupun sampingan. Aku sudah muak dengan berbagai rayuan dan
sanjungan. Aku merindukan kesungguhan, walaupun dalam diam.(hal.158)
Setyani. Gadis desa yang
lebih senang menyebut dirinya sebagai Gadis dari lereng gunung. Ia sosok wanita
dengan sejuta kesabaran, ketenangan, kelembutan dan kesederhanaan yang ia
miliki. Dalam novel ini, maka sosok Setyanilah yang sangat membuat saya salut
sekaligus tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ada sosok perempuan sepertinya,
yang harus menderita akibat ulah suaminya sendiri. Namun, Setyani tetaplah ibu
yang bijak untuk anak-anaknya.
Kesedihan Ibu yang tak
jera menanti Bapak, padahal laki-laki itu tak pernah jera juga menyakitinya.
(hal.64)
Entahlah, jika
mungkin ditanyakan kepadaku apa alasan aku tetap mau bertahan bersamanya? Maka
aku akan menjawab bahwa aku masih terlalu mencintainya. (hal.87)
Panah-panah cinta seolah mengunci semua perasaanku ketika
memandang lukisan wajah yang kukagumi semenjak pandangan pertama melihatnya di
rumah kami dulu. Saat keluarga kangmas itu meminangku. (hal.89)
Zahra, Linda, Gwen dan Setyani adalah empat ruh dari cerita ini. Mereka
adalah refleksi dari bagaimana gambaran tentang memuliakan wanita, ibu dan
istri. Tentang keutamaan berprasangka baik dan meminimalisir trauma.Kalian
tidak akan menemukan tokoh yang benar-benar sempurna disini, benar-benar
manusiawi dan apa adanya. Namun sejatinya jiwa mereka terhubung antara satu dan
lainnya. Kesimpulan yang bisa didapat oleh para pembaca adalah tentang semangat
untuk membaca novel ini halaman per halaman.
Novel
ini sangat edukatif lewat slogan yang terpampang besar di halaman awal
penulisan novel ini “TROPICAL ENTERTAINMENT ANTI-TAYANGAN KEKERASAN, PORNO, DAN
SEGALA MACAM HANTU”. Rasanya ini sangat mewakili keprihatinan saya atas masih
adanya tayangan kurang mendidik yang diputar di negeri ini.
Novel
ini mengajarkan tentang kesetiaan, kesabaran dan belajar. Mulai dari bagaimana
belajar sabar dan setia menjadi anak, ibu dan istri. Juga mengajarkan tentang
arti pentingnya sebuah “KEJUJURAN”, dimana kejujuran itu adalah bumbu terindah
meski terkadang memang sulit untuk diungkapkan.
Ada kutipan yang saya tulis
khusus untuk novel ini, “Terkadang kita memang harus menjadi sesuatu yang bukan
diri kita, demi orang-orang yang kita sayangi. Hingga akhirnya kitapun dengan
sendirinya akan menjadi diri kita, seperti yang kita mau, meski harus melewati
perjalanan panjang yang tak sempurna. Mau tak mau kita harus menerima kenyataan
bila semua mimpi tidaklah bisa kita raih begitu saja, butuh proses untuk itu,
dan Tuhan punya rencana paling indah untukmu. Jadi untuk kalian yang mungkin
sedang merasa putus asa rasanya novel ini layak untuk kalian baca. Percayalah,
kisahnya akan membuat matamu menitik, setidaknya bila kalian membacanya dengan
hati dan mencoba menyelami menjadi diri tiap tokoh dalam novel ini.
Sesungguhnya wanita (sanggup) menyembunyikan cinta selama empat
puluh tahun, namun dia tidak (sanggup) menyembunyikan kebencian walaupun hanya
sesaat”.
Catatan penting tentang
typo:
Cukup banyak typo yang saya temui
ketika membaca novel ini, sekitar
25 typo seperti:
laiknya
baru kenal saja. (hal. 5), Mendampingku (hal.28), tentang masa kacil kami. (hal . 43),
Dokter
Suharsana (hal. 46), Dokter Suharna itu (hal. 48), yang luamayan besar itu, (hal. 52),
Mahaadil,
(hal. 66), oran awam, (hal. 73),
histria. (hal
97), rumah
tangga-rumah yang lain? (hal. 134), awal-wal (hal. 135), Oleh karena
kelakukannya (hal. 135), Zahraku, sangat mistrius. (hal. 141), Sebagian kecil dari 60& itu (hal. 153), Lepar (hal.193),
Jamarinya
basah. (hal. 204), memecahkan mistri (hal. 210), menjawab mistri (hal. 224), kalimat mistri
diulang lebih dari satu kali yakni pada paragraf 4 dan 5. (hal.250), membading-bandingkan
(hal. 258), becermin (hal.294), tak parnah (hal. 321), laiknya lelaki
sejati (hal. 328), hingga finalisasi Teatrrikal Hati (hal. 334) dan Kemistriusan Rama
(hal.336).
Catatan penting
tentang penulisan isi novel:
1. Sedikit
bingung ketika membaca surat
dari Hafidh pada halaman 271. Dua paragraph ini seolah diucapkan oleh satu
orang.
*Gwen, menulis namamu saja, aku sudah cukup
bahagia. Mengingatkanku akan karunia Allah yang indah. Berupa kehendaknya
mempertemukan kita.
*Gwen, sungguh menulis namamu saja, aku sudah
cukup bahagia. Namamu yang indah, bermakna putih. Seputih hatimu, seputih sinar
wajahmu. Seputih kisah kita beberapa waktu sebelum ini.
- Pergantian
font tulisan secara tiba-tiba dari surat
Hafidh pada halaman 274 membuat kurang nyaman.
- Kalimat
“Seharusnya aku bisa menduga, Hafidh adalah anak pembawa layangan putus
itu” (hal.273). Karena kalimat ini ditulis miring sama seperti isi surat Hafidh sehingga
jadi kurang enak dipandang dan membuat bingung.
- Kalimat
“It’s like a puzzle. Inilah yang hilang dariingatanku. Bahwa Mbak Linda
juga turut bermain dengan kami siang itu” (hal.277). lagi-lagi membuat
bingung karena font sama persis dengan isi surat Hafidh yang juga tiba-tiba
berganti font.
- Kalimat
“Aku menangis tersedu membaca surat
itu. Teringat mimpi-mimpiku. Teringat Ibu Hamida yang mendengarkan
ceritaku. Teringat nasihat-nasihat Ibu, Mbak lin, dan Ranti” (hal 280).
Ditulis dengan font yang sama fersis dengan isi surat Hafidh
Kedua penulis cukup cerdas
mengemas cerita ini menjadi sangat menarik. Endingnya yang manis menjadi
perkabulan do’a yang tiada tara. So, tunggu
apalagi! Saya sangat merekomendasikan novel ini untuk anda baca. Yuk buruan…………!!!
By Rey