Tuesday 29 April 2014

Yang Tak Lekang Oleh Waktu



Yang Tak Lekang Oleh Waktu, itulah kiranya sebutan yang tepat untuk dunia Broadcasting khususnya Radio. Sejak di era tahun 80-an, banyak radio kawula muda yang sengaja memperkerjakan para pelajar SMA sebagai penyiar.
Selain itu, para penyiar muda ini juga dianjurkan untuk tetap memakai seragam putih abu-abu mereka agar para pendengar yang kebetulan datang ke studio bisa melihat sendiri bahwa “radio ini gue banget!” itu sih zaman dulu banget ya? Gitulah cara anak-anak remaja untuk memamerkan siapa dirinya, ya dengan musik dan radio, tapi kalau sekarang mungkin lebih dikenal karena udah punya seragam radio, terus juga banyak banget caranya untuk bisa terkenal, seperti dengan trend warna rambut, merek tas, ngeband, model, main film, handphone dll.
Remaja jadul biasaya mutlak tau lirik lagu terbaru dan hafal semua penyiar radio-radio kondang, karena just radio dan bioskop hiburan mereka, ga kayak sekarang yang super canggih, karena  itu pula, di zaman itu para pelajar malu jika tertangkap basah mendengarkan radio kakak atau bapaknya, karena semua pelajar saat itu mengaku pendengar Prambors dan sampai tahun 90-an pun sama, tapi juga mendengarkan radio lain, beda dengan zaman sekarang, hiburan bisa datang dan pake apa saja. Zaman jadul, seorang penyiar kudu punya suara emas tapi kalau sekarang ini lebih sulit lagi karena tidak hanya punya Golden Voice tapi harus punya jiwa entertainer atau mampu berekspresi secara flexible, harus terdepan mengikuti segala trend lifestyle dan information dan harus siap (tanpa cengeng atau mengeluh) untuk tampil di depan pendengar atau penonton manapun untuk memenuhi keinginan audience dan klien yang membayar anda, jangan moody, harus in touch dengan apa yang sedang menjadi pusat perhatian audience kita (gaul seperti mereka), sportif dan punya wawasan luas “no matter what the conditions and no matter who the audience is”


Itulah kemampuan radio, yang diciptakan oleh seorang Marconi lelaki asal Italia dan telah dilakukannya lebih dari seabad lalu yakni pada tahun 1901 dan RRI di Indonesia pada tahun 1939, inilah yang menjadi sejarah lahirnya radio di negeri kita, meski tidak memiliki ruang visual seperti media TV dan cetak, kekuatan suara justru membuka ruang lebar pengembaraan imajinasi dan membiarkan pendengar menciptakan gambar dalam imajinasi mereka sehingga mereka bisa merasakan sebuah peristiwa. dan ini dibuktikan oleh RRI di awal tahun 60-an, meski tidak selicah radio-radio swasta, ketika itu, RRI adalah satu-satunya sumber informasi yang dimiliki oleh negeri kita, yang notabene penyampai pesan-pesan pemerintah, juga satu-satunya sumber hiburan untuk publik, bisa dikatakan radio adalah sebuah kemewahan, karena ketika itu pun perangkat radio bentuknya besar-besar bahkan hamper berbentuk buffet kecil berkaki dengan bagian depan ada alat putaran bandnya.
Radio sebagai media audio memiliki intensitas yang kuat dengan pendengarnya, intensitas itu dibangun karena kedekatan emosi dari apa yang disiarkannya, dengan memberikan kepuasan berawal dari telinga, kepala lalu perasaan mengimajinasikan bebas merdeka dari apa yang didengar, maka tak salah kalau banyak audience yang menerka-nerka sendiri sebuah peristiwa dalam benak mereka masing-masing, itulah kekuatan radio “Makes Picture”
Didapat dari berbagai sumber dan laporan magangku ketika di RRI Jogja dan pengalaman ketika masih siaran di Radio

2 comments:

Fenita said...

Kangen siaran ya, Mbak?

Cieee... Cieee... ^_^

Neng Rey said...

iya nich, kangen ngoceh fen hehhe

Cara Cek Menu Catatan di Facebook Versi Terbaru 2020

Halo semuanya apakabar? Lama ya tak jumpa. Oh ya, kali ini Rey akan berbagi pengalaman dengan kalian mengenai kejadian yang baru saja Rey al...