Setiap
orang tentu memiliki hasrat yang bisa ia salurkan kepada segala hal ketika ramadhan
tiba. Termasuklah kepada keluarga, kekasih, sahabat, calon mertua, alam semesta
dan yang lain sebagainya. Demikian pula dengan diriku dan kakak laki-lakiku tercinta.
Ramadhan adalah moment yang selalu kami nanti ketika hidup dirantau orang. Ya, ketika
itu aku dan kakak tengah menempuh kuliah di Jogja beberapa tahun yang lalu.
Dengan modal nekat kami pun tiba di Jogja demi mewujudkan mimpi-mimpi kami.
“Dek,
nanti sore mas jemput jam 5 ya? Kita buka puasa di Masjid UGM.” Begitu sms
pembuka yang kubaca dari kakak laki-lakiku tercinta. Maklumlah, jaman dulu sms
saja sudah cukup. Demi pengiritan, sms adalah solusi paling pas untuk kami yang
berasal dari keluarga sederhana.
“oke!”
Jawabku ketika membalas sms dari kakakku tercinta. Meski jarak kos kami
terbilang cukup jauh. Namun tiap ramadhan, kami banyak menghabiskan waktu
bersama. Ini adalah moment indahku bersama
kakak.
Tepat
jam 5 sore kakakku tiba. Kamipun segera berangkat menuju ke Masjid UGM dengan
menaiki sepeda motor. Setibanya disana aku berjalan-jalan santai dengannya
sembari menikmati pemandangan. Kira-kira dua puluh menit menjelang buka barulah
aku dan kakak bergegas memasuki masjid. Sudah menjadi kebiasaan, kalau
menjelang buka kami seringkali bertadarus. Dan setelah tharawih usai barulah
kami pulang ke kos.
Selama
Ramadhan paling tidak dua kali dalam seminggu aku dan kakak buka bersama. Bersafari
dari masjid ke masjid. Menikmati masa ramadhan ketika jauh dari keluarga dan
orang-orang yang kami sayangi. Berdua bersama kakakku. Berdua menikmati suasana
dari kedamaian dan kesedihan hati kami masing-masing. Tiap kali kami mengobrol,
selalu terselip kata “Rindu” pada orang yang kami kasihi. Dan ketika itu pula
kakakku dengan mantab memelukku sambil berucap “Sabar dek! Mari kita nikmati
ramadhan berdua disini. Seperti biasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya.
Percayalah, mereka juga pasti rindu dengan kita”. Begitulah indahnya. Kakakku
selalu menguatkanku.
***
Sebenarnya
aku dan kakakku tidaklah sendiri. Ada
keluarga yang tinggal tak begitu jauh dari Jogja. Kami biasa menyebut mereka
dengan sebutan bude dan pakde. Namun karena bertahun-tahun sebelumnya jauhnya
jarak dan kami hidup sangat susah, sehingga membuat kami tak saling
berkomunikasi. Perjalanan menuju kerumah bude dan pakde dengan menggunakan bis
umum, kurang lebih ditempuh dengan dua jam perjalanan. Hanya saja kami jarang
sekali bisa mampir kesana, menginggat uang sangu bulanan kami yang minim. Lahir
dari keluarga yang sederhana membuat kami harus rela tidak pulang kampung demi
bisa meneruskan kuliah. Ekonomi keluarga yang kian terpuruk membuat kami hampir
beberapa kali putus kuliah.
“Dek,
lebaran kali ini apa rencanamu?” Tiba-tiba kakakku bertanya padaku. Ia bertanya
disela-sela obrolan kami menjelang buka puasa. Aku masih sangat ingat. Ketika
itu rute safari kami adalah berbuka puasa di Masjid dekat Kerathon Jogja dan
kami sedang duduk berdua dibangku taman. Kakak laki-lakiku itu bertanya sembari
memeluk pundakku dari samping.
Mendengar
pertanyaan kakakku, aku sempat diam sejenak. Mendengar kalimat Idul Fitri
selalu saja membuat hatiku terenyuh. “Bagaimana kalau kita berlebaran ke tempat
bude dan pakde mas? Toh kita belum pernah berlebaran kesana” Usulku padanya.
Namun kakakku diam sehingga aku berkata lagi.
Kakakku
menghela nafas panjang. “Dek, mas bukannya tidak mau berlebaran kesana. Tapi
apa dirimu lupa. Beberapa kali kita main kesana tapi kita selalu dianggap
seperti tamu. Ketika Gempa Jogja yang begitu dasyat pun mereka tak sekalipun
menjenguk kita. Bahkan tak sekalipun menanyakan kabar kita. Padahal mereka
orang kaya, jauh lebih mampu ketimbang kita yang hidup susah ini!” Perlahan
kakakku berkata padaku sembari mengusap bahuku lembut.
Mendengar
perkataan kakakku aku diam beberapa saat. Pikiranku melayang ke beberapa waktu
sebelumnya. Waktu dimana beberapa kali aku dan kakak bersilahturahmi kerumah
bude dan pakde. Aku masih ingat ketika itu libur panjang tiba. Pertama kalinya
kami bersilahturahmi. Namun sesampainya disana ternyata ada keluarga yang lain
juga yang datang dari Jakarta.
Keluarga yang tak pernah kami temui sebelumnya. Dan ketika itu, betapa aku dan
kakak yang datang dari kampung ini tak dihiraukan. Kami tak sekalipun diajak
jalan-jalan sedang mereka jarang dirumah. Mungkin karena kami tak pernah
bertemu sebelumnya.
Bukannya
sombong, tapi aku dan kakak terkenal gampang bergaul dengan siapapun dan
dimanapun. Namun kenapa dengan mereka
malah tak bisa? Gaya
mereka yang terlalu glamour dan seksi itu kiranya tidak cocok dengan style kami
yang sederhana ini. Alhasil, Cuma tiga hari saja aku dan kakak liburan disana. Selebihnya
kami membuat alasan masuk akal yang bisa membuat kami segera atau harus kembali
ke Jogja. Paling lama selalu tiga hari.
Tak pernah lebih dari itu.
“Iya
mas, aku sangat ingat sikap mereka pada kita. Tapi tak ada salahnya kita coba
mampir sebelum Idul Fitri. Siapa tahu mereka bertobat. Mereka hanya orang-orang
yang hatinya jauh dari Tuhan.“ Ujarku pada kakakku itu. Dan setelahnya,
akhirnya kakakku sepakat untuk berlebaran kesana.
***
Dua
hari menjelang ramadhan. Aku dan kakakku tiba dirumah bude dan pakde. Betapa
mirisnya hati kami. Ternyata pakde tak pernah berpuasa, sholat ataupun mengaji.
Masih mending bude yang sesekali mau karena malu dan tak enak hati melihat kami
berdua. Pantas saja suasana rumah ini tak pernah terasa adem dan damai, batin
kami. Dan apesnya, lagi-lagi ketika kami bersilahturahmi kesana, keluarga dari Jakarta itu datang juga.
Alhasil dapat ditebak kan
seperti apa suasananya? Mereka tak ada yang berpuasa, sholat ataupun mengaji. Aku
dan kakak hanya bisa beristigfar dalam diam dan do’a kami masing-masing pada
kami.
Satu
hari berlalu semenjak kedatangan kami. Tak terasa ketika itu adalah puasa
terakhir. Dimana setelah berbuka, maka malam takbir pun berkumandang di
seantero kota.
Buka terakhir hanya ada aku dan kakak karena yang lain sudah pergi sejak sore
hari. Toh mereka juga tak berpuasa, jadi apa pentingnya puasa terakhir. Ketika
itu, mereka bersama-sama menikmati akhir ramadan entah kemana. Mereka hanya
berpesan ingin melihat pawai takbir sebelum berangkat.
Buka
puasa terakhir kami berdua dinikmati dengan meneguk teh hangat. Setelah itu
kami sholat magrib berjama’ah. Usai sholat magrib barulah kami menyantab makanan
seadanya dan secukupnya, karena sudah menjadi kebiasaan kami kalau ramadhan
bukanlah ajang makan besar seperti kebanyakan orang. Seperti tetanggaku
dikampung misalnya, tiap ramadhan yang diutamakan pastilah hunting makanan di
Pasar Bedug. Begitu kami biasa menyebut pasar khusus menjual menu buka puasa
ketika ramadhan tiba. Tapi bagi kami, ramadhan adalah ajang untuk instropeksi dan
memperbaiki diri, bukan serba wah.
Karena
bude dan pakde bawa kunci cadangan, jadi kami tidak usah repot-repot untuk
membukakan pintu kalau mereka nanti pulang terlalu larut. Usai sholat isya
berjama’ah kami mengaji bersama. Setelahnya kami menonton tivi sejenak, sebelum
akhirnya beranjak untuk istirahat. Aku tidur sekamar dengan kakakku ketika itu.
Disitulah lagi-lagi kami berbincang-bincang. Aku masih ingat semua kata-katanya
yang syahdu.
“Dek.
Mas rindu rumah. Rindu bapak dan ibu juga kedua adik kita. Dan mas tahu dirimu
pasti juga rindu kan?.
Suara takbir membuat hati mas terenyuh. Maafkan mas ya karena belum bisa
menghantarkan kita untuk lebaran dikampung tahun ini? Maafkan mas, kalau
lagi-lagi kita harus lebaran dengan situasi yang tidak menyenangkan seperti
ini. Tapi mas bahagia karena masih bisa berlebaran dengan dirimu. Adik
perempuan yang mas sayangi.”
Usai
berkata begitu, dengan disaksikan kedua mataku. Untuk pertama kalinya aku
melihat matanya memerah. Aku tau, dia pasti sangat sedih karena menahan rindu.
Sama dengan diriku. Hanya saja dia laki-laki, jadi taklah lebay seperti diriku
yang gampang sekali menangis. Kalau rindu dengan orang yang aku sayangi (ketika
mendengar suara takbir) pasti aku terharu. Dan ramadhan kali in tetap sunyi. Hanya hati
kami yang tak sunyi karena dipenuhi dengan do’a-do’a untuk orang yang kami
sayangi dikampung halaman.
“Dan, malam itu, kurangkai jerit suara dua
hati dalam benakku. Kutanam ia dilubuk hati paling dalam, agar suatu hari kami
akan tetap mengingat masa indah ini. Masa dimana aku dan kakakku menikmati
ramadhan bersama. Dulu kami menikmati
ramadhan bersama, namun 5 tahun terakhir ini ramadhan taklah sama seperti dulu.
Aku menikmatinya bersama ibu, bapak dan kedua adikku, sedang kakak laki-lakiku
tercinta harus melewati semuanya sendiri di Jogja. Tak ada lagi aku
disampingnya. Tak ada lagi aku, tempat dia berkeluh kesah dan menghibur diri. Ramadhan
tetaplah sunyi. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya Tak ada yang lebih indah
ketika bisa berkumpul bersama dengan orang yang kita cintai. Dan ramadhan, kami
tetap belum sempat untuk berkumpul bersama, sekeluarga.”
Catatan Dua Hati, Syawal 1428 Hijriyah
By Rey Samudra
Cerpen ini di ikutkan lomba KinoMedia